Penyelamatan Covita di Tengah Pandemi Covid-19

2 Sep 2020
Heribertus Suciadi

Penyelamatan Covita di Tengah Pandemi Covid-19

oleh | Sep 2, 2020

Di tengah pandemi yang disebabkan oleh virus corona yang ditenggarai berasal dari satwa liar, Unit Penyelamat Satwa Liar – Wildlife Rescue Unit (WRU) Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Barat Seksi Konservasi Wilayah (SKW) I Ketapang bekerja sama dengan IAR Indonesia kembali menyelamatkan satu individu orangutan peliharaan dari Dusun Ampon, Desa Krio Hulu, Kecamatan Hulu Sungai, Kabupaten Ketapang, Sabtu (29/8/20).

Bayi orangutan betina bernama Covita di dalam kandangnya di Dusun Ampon, Desa Krio Hulu, Kecamatan Hulu Sungai, Kabupaten Ketapang.

Orangutan berjenis kelamin betina ini awalnya dipelihara secara illegal oleh seorang warga di Dusun Ensayang, Desa Karang Betong, Kecamatan Nanga Mahab, Kabupaten Sekadau. Menurut pengakuannya, dia mendapatkan orangutan ini ketika bekerja kayu di wilayah Babio, Kabupaten Sekadau. Ketika ditemukan, orangutan yang diberi nama Covita ini mengalami cedera pada kaki kanannya. Selama dipelihara oleh pemiliknya, Covita dirantai di sebuah rumah walet dan diberi makan nasi, jambu monyet, air gula dan susu kental manis.

Covita ketika diselamatkan oleh tim gabungan BKSDA dan IAR Indonesia di Dusun Ampon, Desa Krio Hulu, Kecamatan Hulu Sungai, Kabupaten Ketapang

Penyelamatan Covita dari pemeliharaan illegal ini dimulai ketika salah satu warga desa lainnya yang mengetahui persoalan satwa liar dilindungi mengetahui keberadaan orangutan ini dan meminta pemiliknya untuk menyerahkannya ke pihak berwenang. Karena desa tempatnya tinggal sulit dijangkau, pemilik orangutan ini membawa Covita ke Dusun Ampon yang lebih mudah diakses. Untuk mencaapi Dusun Ampon, tim gabungan harus melakukan perjalanan darat selama 8 jam dari Pusat Penyelamatan Orangutan IAR Indonesia di Desa Sungai Awan dan dilanjutkan dengan perahu motor selama 3 jam.

Dari hasil pemeriksaan gigi oleh dokter hewan IAR Indonesia, drh. Adisa, Covita diperkirakan berusia 2,5 tahun. Dia mengatakan ada tonjolan pada tulang paha kanannya. “Kemungkinan besar ini adalah bekas cedera yang dialaminya dulu ketika ditemukan. Selain itu, Covita juga menderita penyakit kulit yang membuat sebagian kulitnya mengelupas dan rambutnya rontok di kedua kaki dan punggungnya,” jelasnya lagi.

Covita menjalani pemeriksaan kesehatan secara singkat oleh drh. Adisa di Dusun Ampon, Desa Krio Hulu, Kecamatan Hulu Sungai, Kabupaten Ketapang.

Covita saat ini dibawa ke IAR Indonesia di Desa Sungai Awan, Kabupaten Ketapang yang memiliki fasilitas pusat rehabilitasi satwa, untuk menjalani pemeriksaan lebih lanjut. Covita akan menjalai masa karantina selama 8 minggu. Selama masa ini, Covita akan menjalani pemeriksaan secara detail oleh tim medis IAR Indonesia. Pemeriksaan ini dilakukan untuk memastikan Covita tidak membawa penyakit berbahaya yang bisa menular ke orangutan lainnya di pusat rehabilitasi IAR Indonesia.

Ini adalah kali kedua IAR Indonesia bersama BKSDA Kalimantan Barat menyelamatkan orangutan dari dusun ini setelah pada pertengahan tahun lalu, tim gabungan ini menyelamatkan satu bayi orangutan yang juga menjadi korban pemeliharaan satwa liar dilindungi. Selain mengancam kelestarian satwa liar, perilaku tidak bertanggungjawab seperti ini juga beresiko membahayakan manusia dengan penyakit yang mungkin dibawa oleh satwa liar.

“Di masa pandemi seperti sekarang, penyerahan satwa liar yang dilindungi ini dapat mengurangi kemungkinan bahaya penyakit menular. Semoga upaya karantina dan rehabilitasi Covita dapat berjalan dengan baik sehingga dapat dilepasliarkan ke habitat alaminya di hutan rimba Kalimantan,” ujar Tantyo Bangun, Ketua Umum YIARI memberikan tanggapan.

Menurut Kepala Balai BKSDA Kalimantan Barat, Sadtata Noor Adirahmanta, pemeliharaan illegal Tumbuhan dan Satwa Liar dapat memberikan dampak buruk bagi kedua belah pihak. “Dari sisi satwanya dapat menyebabkan perubahan perilaku alami orangutan dan di sisi lain dapat membahayakan keselamatan dan kesehatan manusia di sekitarnya,” jelasnya.

“Di samping itu, DNA orangutan yang sangat mirip dengan manusia memungkinkannya menjadi perantara berpindahnya penyakit yang dibawanya kepada manusia. Begitu pula sebaliknya manusia dapat menularkan penyakit yang dibawanya kepada orangutan. Jika proses penularan ini berlangsung cepat maka tidak mustahil terjadi bencana kesehatan secara luas. Oleh karena itu menjaga jarak dengan satwa liar adalah hal yang baik bagi kedua belah pihak,” tambahnya lagi.

Perubahan perilaku alami orangutan merupakan kerugian besar bagi satwa orangutan itu sendiri dikarenakan akan sulit bertahan hidup di alam ketika dilepasliarkan. Orangutan tidak mampu mengenali pakan alaminya, tidak mudah beradaptasi dengan lingkungannya, dan sebagainya.  “Kami berterima kasih kepada IAR Indonesia yang berlokasi di Kabupaten Ketapang, sebagai salah satu pusat rehabilitasi orangutan di Kalbar. Semoga Covita dapat ‘diliarkan kembali’ di sana sampai nanti layak untuk dilepasliarkan ke rumahnya di alam,” tutupnya.

Dukung satwa-satwa dilindungi Indonesia dengan membagikan kisah ini di sosial mediamu atau ikut berdonasi untuk satwa-satwa di pusat rehabilitasi kami dengan mengklik link di sini.

Kabar YIARI

7
Mar 25, 2024

Yuk Kenali Primata Indonesia dengan Status Kritis di Alam!

Kata pepatah tak kenal maka tak sayang. Oleh sebab itu Sobat #KonservasYIARI harus kenal dengan primata di Indonesia yang memiliki status Critically Endangered (CR) atau kritis di alam. Primata yang memiliki status konservasi kritis di alam menandakan bahwa primata...

Artikel Terkait