Membangun Pandangan Masyarakat tentang Berbagi Ruang Antara Manusia-Satwa

22 Agu 2019
Reza Septian

Membangun Pandangan Masyarakat tentang Berbagi Ruang Antara Manusia-Satwa

oleh | Agu 22, 2019

Sebagian besar manusia masih memiliki pandangan yang negatif terhadap keberadaan satwa liar. Beragam pandangan negatif ini di antaranya melihat satwa liar sebagai target buruan, ancaman, bahkan hama. Inilah yang sering kali menjadikan penyebab konflik yang terjadi antara manusia dan satwa terutama terkait dengan teritori kehidupan masing-masing pihak.

Konflik manusia dengan satwa liar bukan hal baru di Indonesia. Laporan kejadian konflik itu juga kerap mewarnai pemberitaan nasional. Selama ini, konflik umum terjadi di pemukiman yang berdekatan dengan hutan. Namun kini, konflik manusia-satwa liar juga terjadi di wilayah perkotaan.

Salah satunya di pemukiman sekitar kawasan Angke-Kapuk, Jakarta Utara yang bersinggungan langsung dengan habitat Monyet Ekor Panjang (MEP) dari kawasan hutan Angke-Kapuk. Di wilayah itu, masyarakat kerap merasa diresahkan dengan kehadiran MEP yang masuk ke perumahan dan mengacak-acak ketertiban.

Padahal, penyebab konflik itu muncul, dikarenakan selain minimnya habitat di wilayah perkotaan, juga didorong oleh perilaku manusia. MEP memiliki tingkat adaptasi yang cepat, sehingga kebanyakan dari mereka akan terbiasa terhadap manusia, terutama dengan adanya perilaku manusia yang memberi makan pada MEP sehingga mendorong munculnya ketergantungan pada MEP terhadap perilaku manusia ini. Kebiasan lainnya yang mendorong konflik adalah pemeliharaan MEP oleh manusia, yang kemudian dtelantarkan dan dibuang saat sudah mereka sudah besar karena dianggap membahayakan pemiliknya.

Seolah belum menemukan cara yang efektif, konflik yang kerap terjadi di wilayah itu seperti tidak pernah dapat terselesaikan. Karenanya, kerja sama dan komitmen multipihak dirasa sangat perlu untuk setidaknya mengurangi konflik yang kerap terjadi. Pasalnya ihwal permasalahan konflik tersebut tidak mampu ditangani tanpa dukungan berbagai pihak.

“Kerja sama dan komitmen multipihak untuk mengatasi konflik ini sangat penting. Untuk merealisasikan itu, kita perlu melakukan upaya mitigasi serta membuat pedoman dalam penanganan konflik monyet-manusia dengan poin utamanya yakni masalah ini terselesaikan tanpa merugikan kedua pihak dalam hal ini satwa dan manusia,” tutur Robithotul Huda, Manajer Program IAR Indonesia dalam forum Ekspos Upaya Penanganan Konflik Monyet Ekor Panjang di Hutan Angke-Kapuk dan Sekitarnya, di Manggala Wanabakti, KLHK, Jakarta, 24 Juli silam.

Bekerja sama dengan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jakarta, kegiatan tersebut dihadiri perwakilan Direktorat Konservasi dan Keanekaragaman Hayati (KKH) KLHK, Dishut DKI Jakarta, mahasiswa kelompok studi primata serta multihpihak lain terkait lainnya yang bertujuan untuk membahas penanganan konflik monyet dengan manusia di daerah urban khususnya Jakarta.

Memberi makan monyet liar menjadi salah satu pendorong agresivitas dan perubahan perilaku mereka.

Selain mengevaluasi pelaksanaan program kerjasama dalam upaya penanganan konflik MEP di kawasan hutan Angke-Kapuk, pertemuan itu juga bertujuan untuk meningkatkan kepedulian dan peran aktif parapihak khususnya di wilayah DKI Jakarta dalam upaya-upaya penanganan konflik MEP. Untuk selanjutnya dapat menyusun dan menyepakati SOP mitigasi konflik MEP di wilayah DKI Jakarta, khususnya di hutan Angke-Kapuk.

Sejauh ini menurut Huda, kendati konflik monyet dengan manusia sejatinya sudah banyak terselesaikan di banyak daerah temasuk di kawasan hutan Angke-Kapuk, namun pedoman praktis dalam penanganannya masih belum seragam dan masih bersifat sementara. Hal itulah yang mendorong perlunya dipikirkan pedoman yang disepakati bersama dalam penanganan konflik manusia dengan monyet.

“Selama ini para pihak masih menyelesaikan dengan cara yang berbeda-beda. Meski terkadang tanpa pedoman pun masalah sudah bisa terselesaikan. Namun itu masih belum efektif dan hanya solusi sementara. Belum lagi, tantangan yang kerap muncul adalah kesadaran masyarakat yang masih minim dan menganggap MEP itu hama dan perusak. Padahal sebagaiamana satwa liar lainnya, MEP juga memiliki peran ekologis yang bermanfaat bagi manusia,” ungkap Huda.

Huda melanjutkan, upaya yang telah dilakukan dalam penanganan konflik monyet terus berkembang dan mengalami peningkatan dalam mencapai tujuan. Salah satu upaya yang telah dilakukan adalah membentuk tim teknis khusus untuk penanganan konflik di kawasan hutan Angke-Kapuk.

“Program-program yang telah dilaksanakan bersama ini tentunya perlu disampaikan hasil maupun kendala pelaksanaannya sebagai bentuk evaluasi bersama dan untuk tujuan perbaikan di masa datang,” katanya. Hal ini juga diharapkan dapat mempererat kerja sama serta memotivasi peningkatan kontribusi para pihak dalam upaya-upaya penanganan konflik MEP di wilayah DKI Jakarta, khususnya di kawasan hutan Angke-Kapuk. Tujuan besarnya, hasil-hasil yang baik dari pelaksanaan program ini bisa menjadi “role-model” bagi daerah lain yang menghadapi permasalahan dengan karakteristik yang hampir mirip.

Dukung satwa-satwa dilindungi Indonesia dengan membagikan kisah ini di sosial mediamu atau ikut berdonasi untuk satwa-satwa di pusat rehabilitasi kami dengan mengklik link di sini.

Kabar YIARI

7
Mar 25, 2024

Yuk Kenali Primata Indonesia dengan Status Kritis di Alam!

Kata pepatah tak kenal maka tak sayang. Oleh sebab itu Sobat #KonservasYIARI harus kenal dengan primata di Indonesia yang memiliki status Critically Endangered (CR) atau kritis di alam. Primata yang memiliki status konservasi kritis di alam menandakan bahwa primata...

Artikel Terkait