Pak Udat: Penjaga Tradisi Masyarakat Pemelihara Konservasi

25 Nov 2020
Admin

Pak Udat: Penjaga Tradisi Masyarakat Pemelihara Konservasi

oleh | Nov 25, 2020

Pak Udat begitu melekat dengan tradisi menjaga kelestarian hutan di kawasan Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya, Kalimantan Barat. Tradisi yang masih ia jaga hingga saat ini terus diturunkan kepada para penerus di dusunnya.
Komunikatif. Itulah kesan yang sangat mencengangkan untuk lelaki seusia dia. Bahkan ketika dengan bangga ia menyebutkan usianya. 124 tahun. Mana mungkin? Pasti hampir sebagian besar orang akan menyangka demikian. Wajar saja, sangat sulit saat ini menemukan manusia yang bisa hidup selama itu. Namun kepada siapa pun, ia dengan yakin menyebutkan angka tersebut. Okelah, jika memang hitungannya tidak persis sama sekali, ia terlihat sangat sehat sebagai seorang lelaki tua. Jika pun ia tak jelas dalam berbicara karena hampir semua giginya ompong, itu sangat wajar.
Pak Udat. Demikian nama panggilannya. Dialah tokoh paling tua saat ini di Dusun Juoi Deras, yang terletak di area Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya (TNBBBR). Dari sosoknya, kita bisa mendapatkan kisah dan jejak-jejak tradisi yang dijalankan masyarakat sekitar taman nasional dalam menjaga hutan. “Kami, orang-orang desa ini, tidak pernah memiliki tradisi untuk mengambil kayu hutan secara besar-besaran. Sering kami ditanya begitu oleh petugas atau pemerintah. Kami tidak punya kemampuan untuk mengambil kayu banyak-banyak. Misalnya kami mengambil kayu pun, itu beberapa yang berukuran sedikit besar untuk tiang rumah,” kata Pak Udat.
Berasal dari suku Dayak Ransa, Pak Udat menceritakan lebih lanjut tentang kehidupannya yang sangat dekat dengan alam, yang salah satunya menjadi faktor kesehatannya yang tetap terjaga hingga menjadikannya telah melampaui usia seratus tahun. Ia mengenang masa mudanya, betapa ia hanya perlu menghabiskan waktu dua atau tiga hari melintasi hutan untuk sampai di Kalimantan Tengah. Sementara tempat tinggalnya berada di Kalimantan Barat. “Kalau orang lain mungkin bisa lebih dari tujuh hari,” ujar ayah 11 anak ini yang mengaku tak membawa bekal makanan apa pun saat memasuki hutan. Sehari-hari pun, Pak Udat juga terbiasa makan setiap tiga hari sekali.

Pak Udat (kiri) berfoto bersama anak (tengah) dan isteri (kanan) di rumahnya di Dusun Juoi, kawasan TNBBBR. Foto: Reza Septian/IAR Indonesia.

Saat ini, Pak Udat tinggal bersama istri ketiganya di Juoi Deras, yang memberinya dua anak, satu putra dan satu putri. Dengan istri pertama, ia memiliki enam putra dan satu putri. Sementara dengan istri kedua, ia memiliki dua putri. Di rumahnya yang tenang di pinggir sungai, ia kini menikmati masa tuanya, sambil sesekali menerima kedatangan siapa pun yang ingin bertanya atau berkonsultasi soal pengobatan tradisional hingga aturan-aturan adat yang mengatur sejumlah perhelatan. “Saya bahkan pernah mengantar orang Amerika ke dalam hutan dan saya tunjukkan kulit kayu yang bisa dijadikan obat. Dia kemudian mengambil berkarung-karung untuk dibawa ke Amerika untuk diteliti. Hasil penelitiannya dia tulis dan dibukukan, saya dikirimi bukunya,” ujar Udat dengan tersenyum.
Dengan usianya saat ini, Udat akan menjadi salah satu saksi sejarah dalam pertemuan Tumbang Anoi pada 22-24 Juli 2019 di Cagar Budaya Rumah Betang Damai Batu, Desa Tumbang Anoi, Kecamaan Damang Batu, Kabupaten Gunung Mas, Provinsi Kalimantan Tengah. Pertemuan ini merupakan napak tilas dari kesepakatan yang diraih pada 1894 di antara seluruh suku Dayak di Pulau Kalimantan di mana salah satu hasilnya adalah dihentikannya tradisi jipen (perbudakan) dan mengayau (memotong kepala manusia). “Saya sudah tak bisa lagi jalan kaki ke sana, kali ini terpaksa saya harus naik pesawat,” kata Udat sambil tertawa. (DRU)

Dukung satwa-satwa dilindungi Indonesia dengan membagikan kisah ini di sosial mediamu atau ikut berdonasi untuk satwa-satwa di pusat rehabilitasi kami dengan mengklik link di sini.

Kabar YIARI

Artikel Terkait