PANDEGLANG – Kamis dini hari, 26 Maret 2015 lalu, tim lepasliar dari Yayasan IAR Indonesia tiba di pesisir pantai Desa Sumur, Kecamatan Sumur, Pandeglang, Banten. Tim yang terdiri dari perawat satwa, tim Survey Release Monitoring (SRM) dan petugas medis bersiap melakukan translokasi atau memindahkan primata jenis monyet ekor panjang ke lokasi lepasliar di Pulau Panaitan, kawasan Taman Nasional Ujung Kulon, Pandeglang, Banten.
Monyet dengan nama latin Macaca fascicularis itu telah selesai menjalani masa rehabilitasi di Yayasan IAR Indonesia di Ciapus, Bogor, Jawa Barat. Ke sembilan monyet itu terdiri empat ekor jantan dan lima ekor betina yaitu, Peti, Maja, Rooney, Sentul, Mocca, Maja, Mona, Choki dan Janu. Mereka berasal dari sitaan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jakarta dan BKSDA Bogor, serta serahan sukarela dari masyarakat.
Kesembilan primata itu menjalani  serangkaian proses panjang hingga akhirnya bisa pulang ke rumah asalnya di habitat liar. Mulai dari karantina, pemeriksaan kesehatan, observasi perilaku, pengenalan pakan alami, pengelompokan grup, dan pemberian pengayaan untuk menstimulir perilaku satwa.
Rabu malam sebelumnya, setelah menjalani pemeriksaan kesehatan dan lolos seleksi untuk dilepasliar, mereka dimasukkan ke dalam kandang transportasi dan menempuh perjalanan selama sekitar tujuh jam menggunakan jalur darat menuju Pandeglang, Banten. Sesampainya pesisir pantai, monyet diistirahatkan terlebih dahulu hingga matahari terbit. Pagi harinya, tim lepasliar YIARI kemudian bergegas naik ke perahu sampan untuk menyebrangkan monyet itu ke kandang habituasi di Pulau Panaitan.
Pulau Panaitan terletak di ujung barat Kawasan Taman Nasional Ujung Kulon, Pandeglang, Banten. Pulau dengan luas sekitar 17.000 ha itu dinilai cocok untuk pelepasan satwa karena memiliki potensi pakan yang melimpah dan ketersediaan ruang yang luas. Statusnya sebagai taman nasional juga memperkuat kawasan tersebut sebagai habitat yang layak dan aman untuk pelepasliaran primata.
Supervisor Survey Release Monitoring Yayasan IAR Indonesia Robithotul Huda mengatakan, sebelumnya anggota tim telah melakukan survei kecocokan potensi habitat di Pulau panaitan selama sepuluh hari. Tim mengambil data vegetasi atau tumbuhan terutama yang berpotensi untuk pakan monyet ekor panjang. Selain itu, mereka menentukan lokasi yang cocok untuk tim monitoring seperti ketersediaan air dan akses untuk memudahkan kegiatan pemantauan dan pelepasliaran.
“Dari hasil survei, ditemukan sekitar 20 jenis tumbuhan pakan alami di Pulau Panaitan yang bisa dikonsumsi oleh monyet ekor panjang,” kata Huda.
Berhasil menyeberang laut selama sekitar lima jam, akhirnya pada tengah hari tim YIARI beserta ke sembilan primata yang akan dilepas liar itu sampai di Pulau Panaitan. Hutan di pulau yang tak berpenghuni itu tampak rimbun dipenuhi pepohonan besar dan semak-semak. Setelah diangkut dari perahu sampan, tim bergegas mengangkut kandang transportasi itu ke kandang habituasi di dalam hutan.
Kandang habituasi merupakan kandang buatan dari jaring yang dibangun mirip dengan suasana hutan. Dalam kandang itu disiapkan pepohonan, dan tumbuhan layaknya habitat monyet di alam. Monyet kemudian dimasukkan ke dalam kandang tersebut sesuai dengan kelompoknya. Saat kandang dibuka, ke sembilan monyet itu menunjukkan respon yang berbeda-beda.
Beberapa ekor monyet segera berlarian memanjat pepohonan, ada juga yang segera mencari makanan di sekitar kandang habituasi dan beberapa mulai bersosialisasi dengan kelompoknya.
“Di kandang habituasi, satwa diistirahatkan terlebih dahulu karena telah melewati perjalanan panjang mulai dari darat hingga laut. Di kandang itu juga satwa dibiarkan beradaptasi. Mereka dibiarkan di kandang habituasi selama beberapa hari, setelah perilakunya mendekati liar, barulah kandang habituasi dibuka dan monyet dibiarkan liar dan bertahan hidup dengan mencari makan sendiri,” ujar Huda.
Huda menambahkan, setelah lepasliar, tim tetap melakukan monitoring dan memantau kondisi satwa. Apakah sudah bisa beradaptasi dengan pakan alaminya dan hubungan dengan kelompoknya masih bertahan atau tidak. “Penilaian tersebut menjadi kriteria apakah monyet ekor panjang bisa bertahan hidup atau tidak di lokasi barunya,” kata dia.
Monyet ekor panjang merupakan salah satu primata yang belum memiliki status perlindungan hukum di Indonesia. Hal tersebut membuat maraknya penangkapan dan perburuan monyet ekor panjang yang berlebihan di alam. Monyet diperjualbelikan sebagai makanan, biomedis dan juga pertunjukkan topeng monyet atau kesenangan pribadi.