Perdagangan satwa liar dilindungi masih masif terjadi. Di Indonesia, aktivitas ilegal tersebut dilakukan secara offline dengan memajangnya di pasar-pasar burung, maupun online dengan mengiklankannya melalui beragam jejaring sosial media. Jenis satwa ini tidak hanya beragam burung dan reptil, primata seperti owa jawa, lutung dan kukang juga tak luput menjadi incaran.
Beragam cara dilakukan untuk menekan angka kejahatan yang tergolong luar biasa (extra ordinary) itu. Selain melalui edukasi dan sosialisasi, untuk bisa menekan angka perdagangan satwa liar dilindungi harus dilakukan dengan upaya represif berupa penegakan hukum yang masif. Selain itu, didorong oleh pemberitaan konsisten menjadi salah satu strategi efektif yang mampu menekan angka kejahatannya.
Peran penting pemberitaan ini diungkapkan Ismail Agung, perwakilan IAR Indonesia dalam presentasi poster pada konferensi internasional Asia for Animals (AFA) di Dalian, China pada Oktober 2019 lalu. Sejak 2001, konferensi dua tahunan AFA merupakan ajang pertemuan profesional di bidang welfare, advokasi, ilmuwan, dan cendekiawan dari seluruh dunia. Sebagai forum terbesar dan paling lama berjalan untuk pihak-pihak yang bekerja untuk hewan di Asia, AFA telah menghasilkan kemitraan yang kuat dan ide-ide baru untuk mengatasi tantangan terbesar dunia dalam perlindungan hewan dan pengelolaan satwa liar.
IAR Indonesia sejak 2008 terus berupaya meningkatkan profil primata kukang yang dilindungi di Indonesia. Pada 2010, IAR Indonesia telah mendukung otoritas lokal hingga pusat melalui upaya penegakan hukum yang tidak hanya menargetkan para pedagang, tetapi juga para pemburu, pengepul hingga bandar.
Dalam laporan Agung pada AFA 2019 yang mengusung tema “Using laws creatively for protect Animals,” Agung mengambil contoh kasus pada pemberitaan pascapenegakan hukum yang dilakukan petugas terhadap para pelaku perdagangan kukang di Indonesia. Kukang dipilih karena menjadi satwa yang paling banyak diperdagangkan di Facebook. Berdasarkan pantauan dari grup jual beli hewan di jejaring sosial media Facebook antara 2012 hingga 2018, jumlah kukang yang akan dijual (WTS = Want to Sell) adalah 5.021, dan yang menunjukkan keinginan untuk membeli (WTB = Want to Buy) kukang yakni berjumlah 2.460.
“Penyalahgunaan sosial media memiliki kontribusi yang cukup besar terhadap perdagangan satwa liar di Indonesia khususnya kukang. Permintaan pasar menjadi faktor utama yang mendorong kukang terus diperdagangkan dan akibat aktivitas ilegal tersebut, kukang semakin menuju ambang kepunahannya di alam,” ungkap Agung.
Untuk memaksimalkan dampak upaya penegakan hukum kepada khalayak banyak, menurut Agung perlu terus mendorong pemberitaan dan kegiatan penyadartahuannya lainnya. Secara sistematis bersama timnya, ia memposting artikel pemberitaan tentang kukang di berbagai platform sosial media. Selain itu, wartawan secara teratur diundang untuk bergabung mempublikasikan berita mengenai penegakan hukum dan fakta-fakta lainnya terkait kukang untuk media mereka. Formulasi tersebut menjadi metode yang efektif dalam memengaruhi dan mengurangi kejahatan terhadap satwa liar ilegal di Indonesia.
“Sebab, tindakan represif dari operasi petugas yang menargetkan para pelaku kejahatan itu masih belum konsisten dan cenderung bertahan sementara bila tanpa pemberitaan. Karena itu, efek keberlanjutan dengan menggulirkan bola salju berupa pemberitaan pascapenegakan hukum harus tetap dilakukan secara konsisten untuk memaksimalkan perlawanan terhadap kejahatan tersebut,” tambahnya.
Dia melanjutkan, pada 2015-2016 banyak operasi petugas terhadap para pelaku kejahatan perdagangan kukang, namun tidak memengaruhi iklan perdagangan di sosial media karena belum banyak didorong oleh pemberitaan yang konsisten.
Sepanjang 2016 terdapat 139 artikel-berita online terkait dengan kukang. Pemberitaan itu mencakup berita mengenai edukasi, penyelamatan kukang, dan penegakan hukum. Selanjutnya jumlah publikasi online meningkat pada tahun berikutnya yakni 2017 menjadi 164 artikel dan 178 artikel pada 2018.
Hasilnya pada 2017 terdapat penurunan permintaan. Meskipun jumlah posting WTS tidak banyak menunjukkan penuruan, iklan WTB untuk kukang justru mengalami menurun secara dramatis dibandingkan dengan 2016. Tren penurunan posting WTB ini akhirnya mulai mempengaruhi penjualan dan pada tahun 2018 jumlah pos WTS dan WTB berkurang secara drastis.
“Di sini kami menunjukkan bagaimana media dapat digunakan, dalam kombinasi dengan upaya penegakan hukum, untuk berdampak dan membentuk opini publik secara positif dalam jangka panjang untuk membantu memerangi kejahatan terhadap satwa liar,” pungkasnya.