Tanggamus, Bandar Lampung – Angin berhembus pelan di Dermaga Bendungan Batutegi, Tanggamus, Lampung. Dua perahu klotok bersiap melaju menyusuri Bendungan Batutegi, Senin, 22 Agustus 2016. Perahu pertama mengangkut enam kandang transportasi satwa berisi primata dilindungi kukang sumatera (Nycticebus coucang). Perahu lainnya membawa relawan, staf Seksi Konservasi Wilayah III Lampung – Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Bengkulu dan Tim Survey Release Monitoring (SRM) Yayasan IAR Indonesia. Mereka bergegas mengantar sepuluh primata malu-malu itu pulang ke habitat alaminya di kawasan Hutan Lindung Batutegi.
Sepuluh kukang terdiri dari lima individu jantan (Justin, Piala, Teh, Usik, Fog) dan lima individu betina (Rosa, Syifa, Kabut, Keju, Krisik). Mereka merupakan kukang sitaan Balai Besar KSDA Jawa Barat wilayah Serang, Banten tahun 2013 yang kemudian dititiprawatkan di Pusat Penyelamatan dan Rehabilitasi Primata Yayasan IAR Indonesia, di kaki Gunung Salak, Bogor, Jawa Barat. Setelah menjalani serangkaian pemeriksaan medis dan tahapan rehabilitasi ‘sekolah alam liar’, akhirnya primata nokturnal itu dinyatakan layak dilepasliarkan ke alam.
Minggu malam, 21 Agustus 2016 sepuluh individu kukang dibawa dari Pusat Rehabilitasi di Bogor. Tim medis dan perawat satwa yang bertugas di Pusat Rehabilitasi terlebih dahulu menyiapkan kukang sebelum keberangkatan Tim Survey Release Monitoring (SRM) untuk lepasliar. Tim medis memeriksa kesehatan terakhir kukang untuk memastikan kondisinya sebelum ke alam liar. Sementara perawat satwa bertugas menyiapkan kandang satwa supaya kukang tetap nyaman selama perjalanan. Sebab, dalam proses pelepasliaran ini, tim akan menyeberang laut menggunakan kapal feri kemudian melewati jalan darat dengan waktu yang cukup lama.
Bunyi mesin perahu klotok mulai terdengar lirih. Setelah menempuh satu jam perjalanan air dari dermaga, akhirnya tim mendarat di pinggiran area Hutan Lindung Batutegi. Perjalanan mengantar si primata yang memiliki mata bulat itu pun dilanjutkan dengan berjalan kaki menyusuri jalan setapak. Kemudian melipir pinggiran sungai lalu masuk ke dalam hutan area habituasi kukang.
Area habituasi merupakan ‘rumah sementara’ kukang di tengah hutan sebelum kukang benar-benar dilepasliarkan. Bentuknya lahan terbuka dikelilingi fiber plastik, di dalamnya tumbuh berbagai jenis pepohonan untuk pakan dan tempat tidur kukang. Selama dua hingga empat minggu kukang dibiarkan beradaptasi dengan habitat dan pakan alaminya. Setiap malam tim monitoring di lapangan rutin memantau perilaku kukang di area habituasi.
Sesampainya di area habituasi, penutup kandang transportasi pun dibuka. Sepasang kukang yang telah dibekali dedaunan dan ranting tidak langsung meninggalkan kandang. Kedua primata kecil itu masih malu-malu keluar. Sesekali mereka mengintip, kemudian sembunyi lagi ke dalam rimbun daun di dalam kandang transport. Dokter dan tim sengaja menanti sepasang kukang itu keluar secara alami.
Tak berselang lama, satu kukang jantan bernama Usik nampak bersiap keluar kandang. Dia memperhatikan lingkungan baru disekitarnya. Kepalanya menjulur keluar. Perlahan dia memanjat pohon sirihan (Piper aduncum) yang tumbuh di area habituasi. Langkahnya makin cepat memanjat batang pohon setinggi enam meter itu. Sesampainya di dahan tinggi penuh rerimbunan daun, Usik kembali memandangi area hijau di sekelilingnya. Semakin tinggi Usik memanjat pohon, dia pun tak terlihat lagi tertutupi dedaunan.
Di area habituasi yang lain, tim juga sedang menunggu kukang bernama Piala dan Syifa keluar kandang transportasi. Alat pelacak radio collar melingkar di leher Piala. Kukang jantan itu dibekali alat bantu pencarian untuk memudahkan tim menemukan kukang di alam. Radio collar berfungsi sebagai pengirim sinyal yang nantinya ditangkap oleh antenna dan menimbulkan bunyi di receiver (penerima sinyal).
Serupa dengan Usik, Piala malu-malu ke luar kandang transport. Perlahan dia memanjat dahan yang mengarah ke pohon mara (Macaranga tanarius). Semakin ke atas, gerakan Piala makin cepat. Dia meliukkan badannya saat memanjat batang pohon mara yang dibalut tumbuhan liana itu. Semakin mendekati pucuk pohon, Piala hilang ditelan rimbun dedaunan. Dia menjelajah area habituasi.
Monitoring
Pasca pemindahan kukang ke area habituasi di kawasan Hutan Lindung Batutegi, Lampung, tim monitoring di lapangan melakukan pemantauan terhadap kukang setiap malam. Pemantauan bertujuan untuk mengetahui kondisi dan perilaku kukang hasil rehabilitasi yang telah dilepas. Hasil monitoring kemudian dicatat dan dibuat laporannya. Setelah bisa beradaptasi di area habituasi barulah kukang dilepas ke alam liar.
Tim melakukan monitoring selama sekitar setahun untuk mengetahui perkembangan perilakunya di alam liar. Untuk memudahkan pemantauan, kukang yang dilepasliar dipasang radio collar pada bagian leher. Radio collar berfungsi sebagai pengirim sinyal yang nantinya ditangkap oleh antenna dan menimbulkan bunyi di receiver (penerima sinyal). Bunyi yang keluar dari receiver itu membantu tim monitoring untuk menemukan keberadaan kukang di alam.
Translokasi kukang di kawasan Hutan Lindung Batutegi merupakan kerjasama program konservasi kukang sumatera antara YIARI dengan KPHL Lampung dan Seksi Konservasi Wilayah III Lampung BKSDA Bengkulu. Hutan Lindung Batutegi dipilih sebagai lokasi lepasliar karena statusnya sebagai kawasan konservasi sehingga bisa menjamin keselamatan kukang dari aktivitas manusia. Selain itu, hasil survey tim YIARI menunjukkan keanekaragaman dan ketersediaan pohon pakan kukang di wilayah itu cukup tinggi. Sejak tahun 2009 ada sekitar 123 kukang hasil rehabilitasi YIARI yang sudah dilepasliar di kawasan Hutan Lindung Batutegi Lampung.
Program rehabilitasi dan pelepasliaran ini diharapkan bisa menambah dan mempertahankan jumlah populasi kukang sumatera di habitat alami khususnya di Batutegi Lampung. Selain menambah populasi dan mempertahankan keberadaan kukang di alam, program lepasliar kukang di Batutegi juga merupakan upaya perlindungan dan pelestarian habitat.
Kukang atau yang dikenal dengan si malu-malu merupakan primata yang dilindungi oleh Undang-undang No. 5 tahun 1990 dan Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999. Kukang juga dilindungi oleh peraturan internasional dalam Apendiks I oleh CITES (Convention International on Trade of Endangered Species) yang artinya dilarang dalam segala bentuk perdagangan internasional. Ada tiga jenis kukang di Indonesia, kukang jawa (Nycticebus javanicus), kukang sumatera (Nycticebus coucang) dan kukang kalimantan (Nycticebus menagensis). Berdasarkan data IUCN (International Union for Conservation of Nature) Redlist kukang jawa termasuk dalam kategori kritis atau terancam punah sedangkan kukang sumatera dan kalimantan termasuk dalam kategori rentan punah.