TEMPO.CO, Jakarta – Kejaksaan Agung dan Wildlife Conservation Society-Indonesia Program (WCS-IP) menandatangani kesepakatan bersama tentang peningkatan kapasitas jaksa penuntut umum berkaitan dengan tindak pidana satwa liar yang dilindungi di Hotel Ambhara, Jakarta, Senin, 6 Maret 2017.
Penandatanganan ini dilakukan untuk meningkatkan kepedulian dan pengetahuan para jaksa dalam penanganan perkara perdagangan satwa liar ilegal.
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Noor Rochmad menilai kerja sama tersebut cukup strategis. Sebab, Indonesia memiliki hutan tropis yang di dalamnya terdapat banyak satwa liar dilindungi, seperti gajah dan harimau. “MoU ini tentang bagaimana kami menyatukan visi melestarikan lingkungan dalam hal penegakan hukum,” katanya.
Noor menuturkan saat ini memang ada sebagian orang yang tidak bertanggung jawab merusak hutan di beberapa pulau. Akibatnya, habitat alam menjadi terganggu dan berujung pada perburuan hingga perdagangan satwa liar yang dilindungi.
Noor menilai, apabila tindakan tersebut tidak dicegah, bisa jadi anak cucu kita hanya akan mendengar cerita tentang satwa liar dilindungi tanpa bisa melihat mereka. Selain itu, kerja sama dengan WCS sangat penting karena penanganan satwa liar dilindungi sudah menjadi perhatian publik.
Noor menyebutkan ada potensi kerugian negara US$ Rp 10-20 miliar per tahun akibat perdagangan satwa liar dilindungi. “Mungkin perputaran uang perdagangan satwa nomor dua setelah narkotik,” ucapnya.
Direktur WCS-IP Noviar Andayani berujar, kerja sama dengan Kejaksaan Agung merupakan sebuah langkah yang dibanggakan. Sebab, tindak lanjut dari penandatanganan ini akan melahirkan kebijakan dalam upaya penegakan hukum perdagangan satwa liar dilindungi. “Namun ini tidak akan berarti jika tidak didukung komitmen kuat di lapangan,” katanya.
DANANG FIRMANTO