Kala Kerja Konservasi yang Tak Henti di Masa Pandemi

26 Okt 2020
Heribertus Suciadi

Kala Kerja Konservasi yang Tak Henti di Masa Pandemi

oleh | Okt 26, 2020

Di tengah pandemi COVID-19, kami bersama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terus melakukan kerja-kerja konservasi. Terhitung sejak awal pandemi pada Maret, kami telah menyelamatkan 7 orangutan. Termasuk evakuasi dua orangutan korban pemeliharaan ilegal di Jawa Tengah pada awal Agustus silam.

Bersama Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jawa Tengah, kami mengevakuasi dua orangutan jantan dewasa ini dari dua lokasi yang berbeda. Satu individu bernama Samson berasal dari lembaga konservasi tak berizin di salah satu taman wisata di Kabupaten Kendal, Jawa Tengah. Sementara orangutan lainnya yang bernama Boboy, berasal dari kediaman pribadi warga di Kota Semarang, Jawa Tengah.

Kedua orangutan jantan dewasa ini dievakuasi ke Pusat Penyelamatan IAR Indonesia di Sei Awan Kiri, Kecamatan Muara Pawan, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, dengan menggunakan kapal penyebrangan melalui Pelabuhan Tanjung Emas, Semarang, Kamis, 6 Agustus 2020 pagi. Sebelumnya, Balai Karantina Pertanian Kelas I Semarang telah memastikan kedua orangutan ini tidak membawa penyakit rabies dan TBC.

 

Dengan mengenakan alat pelindung diri (APD), tim kami melakukan pemeriksaan medis terhadap orangutan Samson di lembaga konservasi yang diketahui tak berizin di Kendal, Jawa Tengah, Senin (27/07/2020).

 

Di rentang waktu yang pendek, bersama BKSDA Kalimantan Barat, kami juga menyelamatkan Covita, orangutan muda di Dusun Ampon, Krio Hulu, Kecamatan Hulu Sungai, Ketapang, pada akhir Agustus 2020. Orangutan betina ini awalnya dipelihara secara ilegal oleh seorang warga di Dusun Ensayang, Kecamatan Nanga Mahab, Sekadau, Kalimantan Barat. Menurut pengakuannya, dia mendapatkan orangutan ini ketika bekerja kayu di wilayah Babio, di kabupaten yang sama.

Pemeliharaan satwa liar seperti ini memang seharusnya tidak lagi terjadi. Selain mengancam kelestarian satwa liar, perilaku tidak bertanggung jawab seperti ini juga beresiko membahayakan manusia dengan penyakit yang mungkin dibawa oleh satwa liar. “Kita tidak pernah tahu virus, bakteri, atau penyakit apa yang bisa dibawa oleh satwa liar dan ditularkan ke manusia’” tandasnya.

Sejak masa pandemi COVID-19, dampak perekonomian masyarakat sangat terasa. Berawal dari ancaman ekonomi, muncul tekanan baru bagi sumber daya alam karena masyarakat yang tertekan dan sulit mendapatkan kerja atau penghasilan, akan kembali melakukan aktivitas yang mengancam sumber daya alam, seperti perburuan, ilegal mining, dan illegal logging.

Hampir seluruh komunitas sains di dunia secara konsensus memperingatkan bahwa pandemi ini, sama dengan berapa pandemi yang lain yang muncul di puluhan tahun terakhir, salah satu faktor penyebabnya adalah tekanan manusia pada sumber daya alam. Dikutip dari situs Kementerian Kesehatan, 60% penyakit manusia yang sudah diketahui berasal dari hewan dan 75% penyakit baru yang menyerang manusia dalam tiga dekade terakhir juga berasal dari hewan.

Beberapa faktor yang menyebabkan peningkatan risiko zoonosis ini adalah keseimbangan alam yang terganggu atau hilang, perubahan status lahan, hubungan yang tidak sehat antara manusia dan satwa liar terutama aktivitas perburuan dan perdagangan satwa liar, serta gangguan dan kerusakan pada habitat satwa liar. “Artinya, semakin kita menekankan sumber daya alam, semakin tinggi risiko penularan penyakit zoonosis ke manusia, serta munculnya pandemi seperti yang kita mengalami sekarang,” tambahnya lagi.

 

Bayi orangutan Covita diselamatkan dari aktivitas pemeliharaan ilegal satwa dilindungi.

 

Risiko dari zoonosis juga tidak bisa dipandang enteng, Seperti diketahui, Covid-19 juga merupakan penyakit yang berasal dari hewan. Bila kontak manusia dengan satwa liar ini terus terjadi dan dibiarkan, bukan tidak mungkin di masa depan akan muncul lagi pandemi yang disebabkan oleh penyakit zoonosis.

“Salah satu tindakan kita untuk mengantisipasi pandemi di masa depan adalah menjaga keseimbangan ekosistem dengan tidak memperdagangkan atau memelihara satwa liar, karena kegiatan perburuan yang tidak berkelanjutan, bisa menyebabkan kepunahan satwa liar. Permasalahan ini menjadi sangat penting sebab hal ini bukan lagi sekadar isu konservasi spesies atau kesejahteraan satwa melainkan isu kesehatan manusia secara global,” jelasnya.

Selain perburuan dan pemeliharaan ilegal, orangutan juga masih harus menghadapi ancaman terkait perubahan fungsi lahan. Akibat tekanan ini, IAR Indonesia melakukan dua translokasi orangutan pada agustus-september 2020 bernama Boncel dan Jhon. Boncel dievakuasi dari kebun milik warga di Desa Sungai Pelang, Kecamatan Matan Hilir Selatan, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, Selasa (18/8). Sedangkan Jhon diselamatkan dari Desa Tempurukan Kecamatan Delta Pawan, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, Selasa (29/9).

Keduanya sukses ditranslokasikan di dua lokasi yang berbeda. Translokasi ini terpaksa dilakukan karena dan berdasarkan citra satelit, jarak antara lokasi kebun dengan hutan besar cukup jauh sehingga orangutan ini tidak lagi bisa dihalau untuk kembali ke dalam hutan. Menimbang kondisi ini dan mengingat potensi konflik manusia dengan orangutan yang mungkin dapat terjadi, tim IAR Indonesia dan BKSDA Kalbar memutuskan untuk memindahkan orangutan ini ke lokasi baru. Hutan Desa Sungai Besar menjadi rumah baru untuk Boncel sedangkan Jhon dipindahkan ke wilayah Sungai Benipis di dalam blok Hutan Sentap Kancang.

Sampai saat ini, konflik antara manusia dan orangutan masih saja terjadi. Potensinya bahkan cenderung meningkat. Konflik ini muncul karena orangutan kehilangan habitat yang merupakan rumah bagi mereka. Orangutan mencari makan ke kebun warga karena mereka tidak punya pilihan lagi akibat rumahnya yang musnah. Kehilangan habitat dan konflik dengan orangutan meningkat risiko penularan penyakit antara manusia dan orangutan.

Di masa pandemi ini, dan melihat bahwa konversi habitat dan kehilangan biodiversity serta peningkatan konflik dan interaksi satwa dan manusia menjadi faktor utama untuk meningkatkan risiko new emerging zoonotic diseases. Jika kita mau lindungi orangutan, dan kita mau menjaga manusia dari pandemik, kita harus menjaga ekosistem dan alam. Kami berharap, melalui hari orangutan sedunia ini, manusia menyadari pentingnya hutan hujan bagi orangutan dan manusia itu sendiri.“

Dukung satwa-satwa dilindungi Indonesia dengan membagikan kisah ini di sosial mediamu atau ikut berdonasi untuk satwa-satwa di pusat rehabilitasi kami dengan mengklik link di sini.

Kabar YIARI

7
Mar 25, 2024

Yuk Kenali Primata Indonesia dengan Status Kritis di Alam!

Kata pepatah tak kenal maka tak sayang. Oleh sebab itu Sobat #KonservasYIARI harus kenal dengan primata di Indonesia yang memiliki status Critically Endangered (CR) atau kritis di alam. Primata yang memiliki status konservasi kritis di alam menandakan bahwa primata...

Artikel Terkait