Strategi rehabilitasi orangutan dengan menggunakan pola orangtua asuh kembali menuai kesuksesan. Setelah sebelumnya berhasil melepaskan pasangan anak-induk asuh Muria dan Zoya, kali ini Balai Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya (BTNBBBR) bekerjasama dengan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Barat dan mitra IAR Indonesia kembali melakukan pelepasliaran pasangan anak-induk asuh bernama Monti dan Anggun di dalam kawasan TNBBBR wilayah kerja SPTN 1 Nanga Pinoh, Resort Mentatai, 11 Februari 2020. Tidak hanya mereka berdua, tiga orangutan lain bernama Merah, Ujang, dan Utat juta turut dilepasliarkan di lokasi yang sama.
Semuanya merupakan orangutan yang diselamatkan dari kasus pemeliharaan ilegal. Sebelum dilepasliarkan, mereka menjalani masa rehabilitasi di pusat rehabilitasi orangutan di IAR Indonesia, Ketapang. Proses rehabilitasi ini dimaksudkan untuk mengembalikan sifat alami mereka sekaligus membuat mereka memiliki kemampuan bertahan hidup di habitat aslinya. Orangutan akan hidup bersama induknya sejak lahir sampai usia 6-8 tahun. Selama masa pengasuhan inilah, orangutan seharusnya mempelajari berbagai kemampuan hidup seperti memanjat, mencari makan, dan membuat sarang. Namun karena berbagai sebab, bayi orangutan ini terpisah dari induknya dan berakhir di tangan manusia sehingga kehilangan kesempatan untuk mempelajari segala kemampuan tersebut.
Proses rehabilitasi sampai pelepasliaran ini bisa memakan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Saat ini IAR Indonesia menampung lebih dari 90 individu orangutan untuk direhabilitasi. Proses rehabilitasi juga tidak bisa dibilang singkat. Proses ini dapat mencapai 7-8 tahun tergantung kemampuan masing-masing individu.
Monti merupakan orangutan berusia 12 tahun yang diselamakan dari Desa Sungai awan di Kabupaten Ketapang pada November 2009 sedangkan Anggun berusia 3 tahun dan diselamatkan pada tahun 2012 di Desa Sungai Melayu, Ketapang. Untuk mempercepat proses rehabilitasi yang bertujuan untuk mengembalikan sifat dan kemampuan alami orangutan, tim animal management IAR Indonesia mencarikan induk asuh untuk Anggun.
Monti yang sudah menjalani rehabilitasi selama lebih dari 10 tahun ini sudah menguasai semua kemampuan yang diperlukan oleh orangutan untuk bertahan hidup di habitat alaminya dan dianggap cocok dipasangkan dengan Anggun sebagai anak asuhnya. Harapannya, Monti bisa mengajari Anggun berbagai kemampuan yang diperlukan untuk bertahan hidup seperti memanjat, mencari makan, dan membuat sarang. Monti juga bisa menjadi pelindung bagi Anggun yang bertubuh mungil. Strategi ini berhasil. Monti menjadi induk yang protektif dan Anggun menjadi lebih percaya diri untuk mempelajari hal-hal baru.
Saat ini baik Anggun maupun Monti sudah bisa mencari makan sendiri dan tidak lagi bergantung pada makanan yang diberikan oleh animal keeper. Direktur Program IAR Indoneisa mengatakan bahwa ini adalah bukti bahwa orangutan juga bisa menjadi ibu angkat untuk orangutan lainnya. “Hal ini bukan hanya mengkonfirmasi bahwa orangutan adalah satwa cerdas yang mirip dengan manusia, tetapi juga ini juga membuktikan bahwa meskipun orangutan seperti Monti kehilangan induknya pada usia yang masih sangat muda, dia mampu untuk menjadi induk yang baik, bukan hanya dengan anak sendiri, tetapi juga dengan bayi orangutan lainnya,” jelasnya.
Sebelumnya, pada bulan Februari 2019, Balai TNBBBR, BKSDA Kalbar dan IAR Indonesia berhasil melepasliarkan orangutan bernama Muria dan anak angkatnya yang bernama Zoya. Sampai saat ini, keduanya masih dipantau oleh tim monitoring IAR Indonesia. Selama setahun ini, berdasarkan hasil pemantauan, keduanya dapat beradaptasi dengan baik dan bertahan hidup di dalam kawasan taman nasional. “Kami sangat gembira melihat orangutan Muria dan anak angkatnya, Zoya yang telah berhasil hidup di hutan selama 1 tahun. Ini menjadi bukti pertama bahwa benar proses rehabilitasi bisa dilakukan oleh orangutan itu sendiri,” tambahnya lagi.
Merah adalah orangutan jantan berusia 9 tahun yang ditemukan oleh pekerja perusahaana yang berlokasi di Tanah Merah, Ketapang. Merah ditemukan sendirian berada di tepi jalan dan dekat dengan perkampungan. Ketika diserahkan kepada IAR Indonesia pada Agustus 2012, Merah masih berusia 1 tahun. Sedangkan Ujang merupakan orangutan jantan berusia 11 tahun yang diselamatkan dari tangan pemelihara di Sei Tolak, Ketapang. Sebelumnya Ujang dipelihara dalam kondisi yang buruk selama 9 bulan. Ketika diselamatkan pada Juli 2010, kondisi Ujang tidak terlalu sehat dengan perut kembung dan kulit yang pucat.
Tidak jauh berbeda, Utat juga diselamatkan dari kasus pemeliharaan ilegal satwa liar dilindungi. Orangutan betina berusia 9 tahun ini dulunya diselamatkan dari rumah warga pada Juli 2016 dari daerah Matan di Kabupaten Ketapang. Selama dipelihara Utat diletakan di dalam kandang kayu di bawah rumah. Pemiliknya memberi makan Utat nasi dan lauk pauk, sama seperti yang dimakan pemiliknya dan tidak terbiasa dengan makanan alaminya. Namun saat ini, Utat dinyatakan sudah mampu bertahan hidup di habitat aslinya. Termasuk kemampuan mencari pakan alaminya
Perjalanan panjang menuju titik pelepasan di jantung Kawasan TNBBBR ini memerlukan waktu tempuh 3 hari. Perjalanan hari pertama menempuh perjalanan darat sejauh lebih dari 700 kilometer ini dilanjutkan dengan menggunakan perahu mesin selama satu jam dan berjalan kaki sejauh 9 kilometer.
Sejak tahun 2016 IAR Indonesia mendirikan stasiun monitoring untuk memantau orangutan rehabilitasi yang dilepaskna dalam kawasan ini. Tim monitoring diterjunkan untuk melakukan pemantauan perilaku dan proses adaptasi orangutan ini di lingkungan barunya. Tim monitoring yang terdiri dari warga desa penyangga kawasan TNBBBR ini akan mencatat perilaku orangutan setiap 2 menit dari orangutan bangun sampai tidur lagi setiap harinya. Proses pemantauan ini berlangsung selama 1-2 tahun untuk memastikan orangutan yang dilepaskan bisa bertahan hidup dan beradaptasi dengan lingkungan barunya. “Kita tidak bisa mensukseskan program ini tanpa partisipasi dan keterlibatan dari warga setempat. Kami sangat bangga bisa bekerja sama dengan warga desa-desa penyangga Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya,” ujar Karmele lagi.
Kepala Balai Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya, Agung Nugroho mengatakan bahwa kegiatan pelepasliaran ini dilakukan dengan melalui serangkaian kegiatan dan kajian. “Semua kegiatan dan kajian ini dilakukan untuk memastikan semua orangutan yang telah dilepasliarkan dapat hidup aman dan nyaman. Ketika pelepasliaran dilakukan bukan berarti kerja kita selesai. Tim monitoring akan bekerja tetap selama lebih kurang 1-2 tahun untuk memastikan setiap orangutan yang dilepasliarkan dapat beradaptasi dengan habitat barunya. Harapannya, orangutan yang dilepaskan di dalam kawasan TNBBBR ini mampu membentuk populasi baru dan mempertahankan eksistensi spesiesnya,” tutupnya.