Akhirnya Desi dan Susi Pulang ke Habitat Aslinya di Hutan

1 Jun 2016
Heribertus Suciadi

Akhirnya Desi dan Susi Pulang ke Habitat Aslinya di Hutan

oleh | Jun 1, 2016

KETAPANG, KOMPAS.com – Penantian Desi dan Susi bergelantungan di habitat asli mereka akhirnya terwujud. Dua individu orangutan (Pongo Pygmaeus) berjenis kelamin betina itu dilepasliarkan di hutan lindung Gunung Tarak, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, Jumat (20/5/2016).

Kedua satwa primata itu dilepasliarkan setelah menjalani proses rehabilitasi lebih dari empat tahun di Pusat Penyelamatan dan Rehabilitasi yang dikelola Yayasan IAR Indonesia (YIARI) di Ketapang.

Kondisi itulah yang akhirnya membawa International Animal Rescue (IAR) bersama Seksi Konservasi Wilayah I (SKW I) Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalbar dan Dinas Kehutanan memutuskan untuk melepasliarkan Desi dan Susi di Gunung Tarak.

Kawasan hutan lindung Gunung Tarak dipilih karena statusnya sebagai hutan lindung akan menjamin keselamatan mereka dari aktivitas manusia. Selain itu, hasil survei dari tim YIARI juga menyatakan bahwa keanekaragaman dan ketersediaan pohon pakan di Gunung Tarak cukup tinggi.

Sebelum dilepasliarkan, Desi dan Susi harus menjalani serangkaian proses, termasuk belajar di sekolah hutan. Selama menjalani proses rehabilitasi tersebut, Desi dan Susi belajar memanjat, mencari makan, membuat sarang, serta mempelajari berbagai kemampuan bertahan hidup lainnya.

Hidup memprihatinkan

Desi dan Susi merupakan orangutan yang sebelumnya dipelihara warga. Nasib kedua satwa ini saat diselamatkan sama-sama memprihatinkan.

Desi saat ini berusia sekitar 10 tahun. Awalnya, Desi dipelihara warga Pemangkat yang membelinya dari seseorang yang menemukannya di hutan yang sudah dibuka untuk perkebunan kelapa sawit. Saat itu, pada tahun 2010, Desi dibeli seharga Rp 50.000 dari orang yang menemukannya.

Kemudian, Desi akhirnya dievakuasi pada tahun 2012, dan menjalani serangkaian proses rehabilitasi di YIARI Ketapang.

Sedangkan nasib Susi sedikit lebih buruk daripada Desi. Meski sama-sama dipelihara warga, saat itu kondisi Susi sangat memprihatinkan.

Sebelum dievakuasi pada tahun 2011, Susi saat itu sudah bertahun-tahun menjadi peliharaan salah satu warga di Pontianak. Saat itu, Susi mengalami luka dan bernanah yang melingkar di lehernya.

 

Tak hanya itu, luka itu pun berbau busuk menyengat akibat rantai yang mengikat lehernya terlalu kencang selama dipelihara. Bahkan ketika diperiksa, ada karet yang tertanam di dalam kulit lehernya yang terluka sehingga tim medis YIARI perlu melakukan operasi untuk mengeluarkannya.

Kondisi Susi ketika itu juga sulit benafas dan mengeluarkan suara aneh dari tenggorokannya. Selama menjalani perawatan dan rehabilitasi, kondisi Susi makin bagus.

Tidak hanya kesehatan fisiknya saja yang membaik, tetapi kondisi kesehatan mentalnya juga menunjukkan perkembangan yang signifikan.

Kemajuannya membuat tim medis di IAR Indonesia tidak ragu untuk menempatkannya di pulau pre-rilis pada tahun 2013 untuk menjalani tahap monitoring sebelum dilepasliarkan.

Hasil monitoring Susi dan Desi selama di pulau pre-release YIARI Ketapang menunjukkan perkembangan positif. Susi dan Desi yang dulunya hidup di kandang dan dirantai, kini sudah mampu memanjat, mencari makan, dan membuat sarang sendiri.

Rehabilitasi cukup lama

Direktur Program YIARI, Karmele L Sanchez menjelaskan, proses rehabilitasi kedua individu orangutan ini berlangsung dalam waktu yang cukup lama. Lamanya proses itu lantaran Susi sudah bertahun-tahun menjadi hewan peliharaan dan dirantai secara kejam sehingga memberikan efek yang buruk pada kesehatannya.

“Beruntung dia sempat diselamatkan sebelum terlambat. Ada beberapa orangutan yang kami selamatkan, tapi sudah terlalu terlambat untuk direhabilitasi sehingga mereka akan tetap tinggal di dalam pusat rehabilitasi seumur hidupnya,” ungkap Karmele dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Minggu (22/5/2016).

Sementara itu, Christine Nelson, dokter hewan asal Amerika yang merawat Susi dan Desi menjelaskan, saat ini kondisi kedua satwa itu sudah bagus.

“Kondisi mereka sudah bagus. Susi saat ini sudah mampu mencari makan sendiri dan membuat sarang. Kami yakin dia akan senang berada di rumah barunya,” jelas Christine.

 

Jalan panjang menuju pulang

Perjalanan panjang Desi dan Susi pulang ke habitatnya dimulai pukul 00.00 WIB dari Pusat Penyelamatan dan Rehabilitasi YIARI di Sungai Awan. Perjalanan menuju Gunung Tarak ditempuh selama 5 jam.

Setelah itu, tim melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Selain tim dari YIARI dan BKSDA, kegiatan pelepasliaran Susi dan Desi ini melibatkan 16 porter untuk mengangkut kandang berisi orangutan sejauh 8 kilometer. Perjalanan ini ditempuh selama 4 jam.

Ketika keluar dari kandangnya, Susi dan Desi awalnya terlihat kebingungan. Namun, dengan cepat mereka kemudian beradaptasi dan memanjat bergelantungan di pohon.

Karena Desi dan Susi adalah orangutan hasil rehabilitasi, YIARI menerjunkan tim monitoring untuk memantau perkembangannya di alam bebas. Tim ini bertugas untuk mencatat pergerakan, aktifitas, serta jenis makanan yang dimakan oleh Susi dan Desi.

Tim ini juga akan bekerja sejak sebelum orangutan bangun sampai dia kembali tidur lagi di sarangnya. Sebelum Desi dan Susi menjadi penghuni baru di Gunung Tarak, sudah ada Helen, Prima, dan Peni yang juga dipantau oleh tim monitoring YIARI. Keberadaan mereka sudah dipantau sejak 2 tahun lalu dan proses monitoring mereka akan dihentikan karena hasil pantauan menunjukkan hasil yang positif.

Manajer Operasional YIARI, Adi Irawan menjelaskan, tim monitoring tersebut tinggal di sebuah pondok yang dibangun di kawasan hutan. Mereka bertugas mengikuti dan memantau perjalanan orangutan selama hampir 14 jam setiap harinya.

“Mereka (tim monitoring) melakukan pekerjaan yang luar biasa. Kami sangat senang melihat semangat dan kepedulian mereka terhadap keberlangsungan hidup orangutan. Kami yakin kehadiran mereka akan memastikan keberhasilan orangutan yang dilepasliarkan akan hidup sebagaiman mestinya,” ungkap Adi Irawan.

Saat ini, YIARI menampung lebih dari 100 individu orangutan dan diperkirakan jumlahnya akan terus bertambah sejalan dengan hilangnya habitat mereka akibat pembukaan hutan untuk perkebunan.

Kondisi tersebut juga menyebabkan YIARI semakin kesulitan menemukan hutan yang aman untuk melakukan pelepasliaran. Tidak bisa dibayangkan, bagaimana masa depan yang cerah untuk orangutan jika habitat mereka semakin berkurang secara masif dalam waktu yang singkat.

Keberadaan orangutan terancam aktivitas pembukaan hutan, kebakaran, juga ancaman jual beli dan pemeliharaan seperti Susi dan Desi.

Sumber: http://regional.kompas.com/read/2016/05/23/09102811/akhirnya.desi.dan.susi.pulang.ke.habitat.aslinya.di.hutan?page=all

Dukung satwa-satwa dilindungi Indonesia dengan membagikan kisah ini di sosial mediamu atau ikut berdonasi untuk satwa-satwa di pusat rehabilitasi kami dengan mengklik link di sini.

Kabar YIARI

7
Apr 1, 2024

Perlu Diketahui! 7 Jenis Plastik ini Sering Kita Pakai 

Sobat #KonservasYIARI pada mulanya plastik diciptakan manusia sebagai pengganti paper bag, loh! Seiring berjalannya waktu plastik diproduksi secara besar-besaran.  Tidak hanya itu, kini plastik sudah menjadi pencemar lingkungan seperti kemasan plastik sekali...

7
Mar 25, 2024

Yuk Kenali Primata Indonesia dengan Status Kritis di Alam!

Kata pepatah tak kenal maka tak sayang. Oleh sebab itu Sobat #KonservasYIARI harus kenal dengan primata di Indonesia yang memiliki status Critically Endangered (CR) atau kritis di alam. Primata yang memiliki status konservasi kritis di alam menandakan bahwa primata...

Artikel Terkait