30 Individu Kukang Jawa Kembali Ke Habitatnya di TNGHS

28 Des 2020
Reza Septian

30 Individu Kukang Jawa Kembali Ke Habitatnya di TNGHS

oleh | Des 28, 2020

Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) Jawa Barat melepasliarkan 30 individu kukang jawa (Nycticebus javanicus) ke habitatnya di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS), Bogor, Jawa Barat.

Pelepasliaran ini terlaksana atas kerja sama Balai Besar KSDA Jawa Barat, Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak (BTNGHS) dan Yayasan Inisiasi Alam Rehabilitasi (IAR) Indonesia. Kukang yang dilepasliarkan terbagi ke dalam dua tahap. Tahap pertama sebanyak 15 individu sudah dilaksanakan pada Selasa (15/12/2020) dan tahap kedua sebanyak 15 individu dilaksanakan pada Minggu (20/12/2020).

Kepala Balai Besar KSDA Jawa Barat, Ammy Nurwati menjelaskan, 30 individu kukang yang dilepasliarkan ini merupakan satwa hasil serahan masyarakat ke sejumlah wilayah kerja Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) di Jawa Barat dan dititiprawatkan di Pusat Rehabilitasi Primata milik Yayasan IAR Indonesia, di Bogor, Jawa Barat.

Tim pengantar yang teridiri dari BKSDA, Balai TNGHS dan warga lokal membawa kukang menuju area habituasi di kawasan TNGHS.

Tim pengantar yang teridiri dari BKSDA, Balai TNGHS dan warga lokal membawa kukang menuju area habituasi di kawasan TNGHS.

Sebelum dilepasliarkan kukang ini menjalani proses pemulihan dan rehabilitasi untuk menstimulasi kembali perilaku alamiah mereka. Dimulai dari masa karantina dan pemeriksaan medis, observasi perilaku hingga dinyatakan sehat dan siap ditranslokasi untuk jalani habituasi. Proses panjang ini harus mereka jalani untuk mengembalikan sifat liar alami dan menjamin bahwa mereka bisa bertahan hidup dan berkembang biak di habitat alaminya.

Tahap akhir sebelum pelaksanaan pelepasliaran adalah habituasi. Habituasi atau pembiasaan di rumah sementara adalah proses di mana kukang kukang tersebut ditempatkan di sekitar lokasi pelepasliaran di area terbuka yang dikelilingi jaring dan fiber di dalam kawasan TNGHS.

Di area habituasi itu tumbuh berbagai jenis pepohonan untuk pakan alami dan naungan kukang. Proses habituasi ini memakan waktu selama sekitar dua minggu untuk memberikan waktu kukang tersebut beradaptasi dan mengenal lingkungan barunya.

“Selama masa habituasi ini, tim di lapangan tetap mengamati dan mencatat perkembangan mereka setiap malamnya. Jika selama masa habituasi semua kukang aktif dan tidak ada perilaku abnormal, maka barulah mereka benar-benar bisa dilepasliarkan ke alam bebas,” terang Ammy.

Area habituasi menjadi tempat sementara kukang untuk beradaptasi di lingkungan barunya.

Area habituasi menjadi tempat sementara kukang untuk beradaptasi di lingkungan barunya.

Program pelepasliaran kukang ini, selain memberikan kesempatan kedua bagi kukang hasil serahan, juga menjadi salah satu upaya untuk mendukung keberlangsungan proses ekologis di dalam kawasan konservasi. Di samping itu juga untuk menjaga dan meningkatkan populasi jenis primata sebagai satwa endemik yang jumlahnya kian menurun.

Pada kesempatan yang sama, Kepala Balai TNGHS, Ahmad Munawir mengatakan,  pelepasliaran satwa hasil rehabilitasi atau satwa konflik di kawasan TNGHS telah menjadi salah satu program penting dalam rangka penyelamatan satwa liar.  Kukang merupakan salah satu satwa liar yang memiliki peran penting untuk keseimbangan ekosistem di kawasan TNGHS.  Karena itu, pelepasliaran 30 ekor kukang ini menjadi penting dan mengapresiasi semua pihak yang membantu lancarnya kegiatan ini.

Kawasan yang berada di wilayah Resort Gunung Salak I, Seksi Pengelolaan TN WIlayah II, Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) dipilih sebagai lokasi pelepasliaran berdasarkan penilaian kesesuaian habitat yang telah dilakukan sebelumnya oleh tim dari Balai TNGHS dan Yayasan IAR Indonesia.

Area pelepasliaran ini memiliki ekosistem yang dinilai cocok sebagai tempat pelestarian dan perlindungan terhadap kelangsungan hidup kukang dilihat dari aspek keamanan kawasan, ketersediaan pakan dan naungan, daya dukung habitat serta tingkat ancaman predator.  Harapannya dengan pelepasliaran ini, kukang-kukang itu dapat berkembang biak dan melangsungkan hidupnya dengan baik.”

Dia menambahkan, dalam program pelepasliaran juga melibatkan masyarakat lokal di sekitar lokasi pelepasliaran dalam setiap prosesi program konservasi kukang ini, dimulai dari translokasi hingga monitoring. Keterlibatan ini juga tentu diharapkan agar mereka bisa bersama-sama membantu menjaga dan melindungi kukang di habitatnya dari berbagai ancaman.

Prosedur perawatan di tengah situasi pandemi lebih bertingkat. Mulai dari uji COVID-19 terhadap kukang dan tim kami, penggunaan masker, mengurangi kontak dengan hewan dan mengurangi personel yang terlibat langsung di lapangan. Uji COVID-19 yang dilakukan terhadap ketiga puluh kukang tersebut merupakan swab test untuk memastikan kesemuanya bebas dari potensi risiko penularan COVID-19 ke populasi kukang di alam liar.

“Selama pandemi, kami meningkatkan protokol kesehatan dan keselamatan dalam kegiatan pelepasan ini untuk meminimalkan risiko penularan penyakit. Dari sisi hewan, kami telah melakukan swab-test di fasilitas laboratorium Pusat Studi Primata – IPB University dan hasilnya semuanya negatif. Dan, dari sisi manusia, kami telah melakukan rapid test terhadap semua pihak yang terlibat dan telah memastikan bahwa implementasi protokol seperti physical distancing dan penggunaan masker dilakukan dengan baik,”

Semua penyesuaian dalam prosedur pelepasan ini juga merupakan upaya untuk menghilangkan potensi penularan COVID-19 dan penyakit infeksi zoonosis lainnya. Sehingga pelepasan dan kegiatan konservasi lainnya tetap bisa berjalan meski di tengah pandemi COVID-19.

Kukang (Nycticebus sp) atau yang dikenal dengan nama lokal malu-malu merupakan primata yang dilindungi oleh Undang-undang No. 5 tahun 1990 dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI Nomor P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa Dilindungi. Kukang, primata yang masuk dalam daftar 25 primata terancam punah di dunia ini juga dilindungi oleh peraturan internasional dalam Apendiks I oleh Convention International on Trade of Endangered Species (CITES) yang artinya dilarang dalam segala bentuk perdagangan internasional.

Dukung satwa-satwa dilindungi Indonesia dengan membagikan kisah ini di sosial mediamu atau ikut berdonasi untuk satwa-satwa di pusat rehabilitasi kami dengan mengklik link di sini.

Kabar YIARI

Artikel Terkait